Saturday, October 1, 2011

Pandangan Golongan Muda terhadap Nasionalisme

Sekitar abad ke-18 kata nasionalisme merupakan legenda mengenai kebangkitan suatu bangsa. Istilah nasion atau bangsa dapat dikatakan sebagai suatu kata yang termasuk dalam kelompok kata-kata seperti ras, komunitas, orang, suku bangsa, clan, masyarakat, dan negara. Konsep nasionalisme dalam pengertian modern berasal dari dunia barat.[1] Menurut Hans Kohn, nasionalisme merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan dan unsur terpentingnya adalah kemauan bersama dalam hidup yang nyata.[2]

Nasionalisme menurut Anthony D. Smith merupakan sebagai ideologi politik, juga sebagai budaya politik. Sebagai ideologi politik, nasionalisme dapat dianggap sebagai agama politik yang dianggap sebagi identitas nasional. Selama abad ke-20 pengertian mengenai nasionalisme terus berkembnag dan pemggunaanya mempunyai bermacam-macam makna sebagai berikut :

1. Nasionalisme sebagai suatu proses pembentukan atau pertumbuhan bangsa-bangsa

2. Nasionaliasme adalah sentimen atau kesadaran untuk memiliki bangsa ber-sangkutan

3. Nasionalisme menandakan bahasa dan simbolis bangsa

4. Nasionalisme merupakan gerakan sosial politik untuk kepentingan bangsa tertentu

5. Nasionlisme merupakan doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik yang bersifat umum maupun khusus.[3]

Berdasarkan tiga unsur yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional, Smith merumuskan definisi kerja mengenai nasionalisme sebagai berikut : “ Nasionalisme adalah gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, identitas dari suatu populasi yang anggota-anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial”[4]

Setelah menela’ah makna dari nasionalisme dari beberapa ahli seperti Kohn dan Smith, kita harus mengetahui mengapa nasionalisme itu muncul dan bagaimana pertumbuhan dan perkembangan nasionalisme hingga dewasa ini khususnya di Indonesia, sehingga kaum muda sebagai generasi bangsa mampu menempatkan diri dalam bertindak sesuai dengan perkembangan nasionalisme tersebut.

Nasionalisme kerap disamakan dengan imperalisme. Awalnya di Inggris imperalisme merupakan paham yang digunakan untuk mempersatuakan negara-negara bagian yang berkonflik. Namun, seiring perkembangannya imperalisme diartikan memperluas daerah ekspansi sehingga mendaratlah bangsa barat sampai ke Indonesia. Mulai dari bangsa Portugis, Spanyol, Belanda dan Jepang yang berdatangan ke Indonesia dari tujuan mencari rempah-rempah hingga menjajah, menyebabkan muncul rasa sadar akan penindasan, rasa menahan sakit yang mendalam, gejolak yang terpendam menimbulkan rasa ingin terbebas dari rasa kekangan penjajah. Rasa yang ada dalam diri suatu bangsa tersebut yang dinamakan nasionalisme, seperti yang telah diungkapkan oleh Kohn yaitu “kemauan bersama untuk hidup yang nyata” bukan sekedar hidup yag abstrak penuh dengan penderitaan tanpa mengindahkan hak asasi manusia yang paling mendasar adalah hak hidup. Hidup disini mempunyai arti hidup yang bebas menikmati alam yang telah dianugrahkan oleh Tuhan. Bila penjajahan maka hak mendasar tersebut telah dirampas, karena mau tidak mau hak hidup itu ditentunkan oleh penjajah. Bagi siapa yang melawan penjajah dan tidak mengikuti aturan mainya maka nyawa pun melayang. Nasionalisme akhirnya terwujud melalui tindakan-tindakan menentang penjajah dengan perjuangan-perjuangan untuk membebaskan diri.

Di Indonesia banyak perjuangan-perjuaangan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh nasionalis di berbagai daerah seperti perlawanan oleh Pangeran Diponegaoro, perlawanan di Ambarawa, dsb. Puncaknya pada proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Apakah setelah puncak tersebut rasa nasionalisme akan luntur atau bahkaan hilang ? Nasionalisme akan selalu ada dalam diri suatu bangsa karena rasa kesatuan, semangat kemerdekaan yang terpendam di dada bangsa, hidup dalam negara yang sama dan rasa kesamaan yang tinggi dalam ragamnya perbedaan akan membuat nasionalisme tersebut tetap hidup. Pada pasca proklamasi tidak serta merta penjajah dengan mudah mengakui kemerdekaan Indonesia. Layaknya negara yang baru lahir atau merdeka tentu masih banyak kekurangan, baik dalam bidang keamanan, pendidikan, kenegaraan, kesehatan, dsb. Salah satu aspek yang mendasar dan yang paling utama untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka harus mempunyai kaum intelektual yang peduli akan bangsanya. Organisasi yang teratur dan modern diperlukan guna mewujudkan ide nasionalisme, kemudian memotivasi sekelompok pemuda pelajar Stovia yang dipimpin oleh pemuda Soetomo untuk mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo (1908) sebagai organisasi pergerakan pertama yang menjadi perintis atau pelopor bagi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebnagsaan Indonesia lain baik di dalam maupun di luar negeri.[5] Organisasi-oraganisasi yang muncul setelah Boedi Oetomo misalnya Sarekat Islam, Indische Partij, dll.

Dilihat dari fenomena tersebut, nasionalisme Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejalan dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut dapat diamati dari sistem kerja masing-masing organisasi yang muncul pasca proklamasi yang masing-masing organisasi tersebut fokus pada aspek yang berbeda beriringan dengan masalah atau hal yang harus dibenahi pada masanya. Pada masa Boedi Oetomo lebih menekankan pada politik dan sosiokultur masyarakat, Serikat Islam lebih pada ekonominya yaitu ketatnya persaingan dengan pedagang Cina, sedangkan Indische Partij pada bidang politik yang lebih mapan dibandingkan dengan Boedi Utomo dan Serikat Islam. Fokus politiknya telah mencakup beberapa aspek yang harus dikendalikan, misalnya ekonomi dan pendidikan. Organisasi ini telah tegas mencanangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa Hindia yang lepas dari Nederland sebagai akhir dari tujuan perjuangannya. Setelah matang pada beberapa organisasi, Perhimpunan Indonesia memberikan kontribusi yang sangat penting bagi perkembangan nasionalisme Indonesia yaitu nama “INDONESIA” sebagai identitas nasional.[6]

Ada beberapa kalangan yang berpendapat bahwa nasionalisme Indonesia itu berasal dari barat. Hal itu tidak seluruhnya benar sebab tumbunhnya nasionalisme sebagai gejala sejarah didorong oleh banyak faktor obyektif. Seperti yang diakui Kohn bahwa “nasionalisme tidaklah sama di setiap negara dan setiap zaman. Nasionalisme merupakan peristiwa sejarah, jadi ditentukan oleh ide-ide politik dan susunan masyarakat dari berbagai negara tempatnya berakar”. Nasionalisme yang dianut dan melandasi perjuangan bangsa Indonesia mempunyai identitas sendiri. Nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembnag dari dan dalam kebudayaan masyarakat Indonesia sendiri. Nasionalisme adalah state of mind yang berarti sejarah pergerakan kebngasaan Indonesia dianggap sebagai history of ideas, konsep sosiologis ide, motif, kesadaran, yang selalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkret dari situasi sosiohistoris.[7]

Kolonialisme yang merupakan perangsang nasionalisme tentunya juga berbeda-beda yang dipengaruhi oleh kapitalisme. Pada dasarnya dilihat dari pertumbuhan dan perkembangannya, ada tiga tipologi kapitalisme yaitu : kapitalisme dagang, kapitalisme industri dan kapitalisme finansial. Ketiga tipe kapitalisme tersebut melahirkan tipe-tipe kolonialisme, yaitu kolonialisme tua (dagang), kolonialisme industriil (baru), kolonialisme finansial (terbaru atau neo).[8] Makna dasarnya tetap menjajah, tapi cara penajajahannya yang berbeda. Dulu penjajahan dilakukan secara fisik dengan penyiksaan yang sering disebut pekerja rodi (penjajahan Belanda) dan romusa (penjajahan Jepang). Adanya penerapan politik yang absolut, tanam paksa, pajak tanah, pembangunan rel kereta api anyer-panarukan dsb. Kolonialisme dewasa ini dilukiskan dengan adanya globalisasi yang dilatarbelakangi dengan revolusi Inggris, sehingga kolonialisme dewasa ini disebut dengan kolonialisme industri dengan penjajahan melalui berbagai aspek kehidupan yang sangat kompleks dan saling ketergantungan. Selanjutnya secara rinci dampak positif ataupun negatif dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Indonesia menjadi lebih mudah untuk mendapatkan barang, jasa maupun infomasi yang diperlukan, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara.

2. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta menjadi pasar empuk bagi negara lain. Entah itu berupa barang buatan luar negeri, tenaga kerja asing yang mengisi berbagai jenis keahlian dan jabatan, maupun banjir informasi yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia.

3. Globalisasi dengan isu utamanya demokratisasi dan hak asasi manusia, tanpa sikap waspada dan bijaksana masyarakat akan mudah termakan isu-isu yang tidak bertanggungjawab yang berkedok demokrasi, hak asasi dan kebebasan.

4. Globalisasi menjadi media yang praktis bagi menyebarnya nilai-nilai budaya asing ke dalam wiayah Indonesia, yang harus kita waspadai tentu saja yangbersifat negatif.[9]

Berbicara mengenai aspek kehidupan tentuya akan menyoroti banyak bidang, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, agama, kondisi alam, dsb. Mengapa nasionalisme dikaitkan dengan bidang-bidang tersebut ? Menurut saya fenomena yang nampak dewasa ini muncul dari bidang-bidang tersebut yang berusaha menjajah dengan bermacam-macam cara. Pada orasi, seminar, kuliah sering dicontohkan ketika Jepang mengalami kekacauan maka seorang guru yang mereka cari peratama kali. Guru mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan taraf kesejahteraan, menata kembali puing-puing yang masih tersisa dengan ilmu yang ditrasfer melalui kegiatan belajar mengajar dan memberikan tauladan berkehidupan yang baik karena mereka memiliki ilmu yang lebih kompleks dibandingkan dengan profesi yang lain. Membahas mengenai seorang guru, maka tidak jauh dari aspek pendidikan. Pelaksanaan sistem pendidikan yang belum dapat konsisten dengan wacana menemukan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia merupakan wujud ketidakmampuan memahami masyarakatnya sendiri, padahal hari peringatan kemerdekaan akan memasuki angka ke-65 pada Agustus 2011 ini. Penyerapan sistem dari negara lain sering kali dilakuakan karena hanya mengejar ketertinggalan di dunia pendidikan tanpa mengindahkan kebutuhan masyarakat Indonesia sendri. Salah satu contohnya sering terjadi pergantian kurikulum yang dampaknya mengenai berbagai lapisan masyarakat. Guru yang telah tertata sistem mengajarnya dan tinggal mengembangkan serta update terhadap kajiannya harus berpaling untuk merombak kembali sistem mengajarnya sesuai dengan kurikulum yang baru, peserta didik juga kerap menyayangkan pola belajar mengajar yang tidak konsisten dan terkadang tampak tidak sesuai antara metode yang digunakan dengan materi pelajaran serta kepiawaian guru dalam mengontrol kelas.

Hal tersebut bila berkelanjuatan tanpa ada sosialisasi yang merata bisa menyebabkan keengganan para peserta didik untuk belajar dan meraguakan keseriusan pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia. Fenomenanya, kepedulian peserta didik terhadap sistem pendidikan pun menjadi rendah bahkan lemah. Peserta didik hanya bisa dikatakan seperti boneka berbaterai dengan saklar on/off yang dimainkan seenaknya sendiri dan hal tersebut sudah mendarahdaging. Peseta didik seharusnya mampu memberikan aspirasi mereka, kritik, penolakan terhadap apa yang ditetapkan pemerintah. Kerapnya terjadi kekecewaan karena apa yang ditetapkan dan harus dilaksananakn, manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan. Hal ini merupakan salah satu bentuk kolonialisme tehadap generasi muda, perlahan tapi pasti bila generasi muda hanya disibukan dengan dunai glamor dan sudah menjadi boneka maka rasa nasionalisme hanya menjadi wacana, sekedar tahu arti (itupun kalau di tanya) tanpa mengetahui makna bahkan sampai aplikasinya saya rasa sangat musathil.

Melalui kepekaan terhadap fenomena yang ada dari berbagai aspek, generasi muda mampu memahami makna nasionalisme bahwa perjuangan tidak sekedar membawa senjata dan berperang meninggalkan tangis dengan kalah atau menang, namun sesuai dengan perkembangan zaman perlu kualitas dan usaha yang maksimal dalam profesi masing-masing untuk menyejahterakan kehidupan bangsa mewujudkan keadilan sosial yang sangat didam-idamkan bangsa Indonesia. Contohnya, bila menjadi guru jadilah guru yang sungguh-sungguh mencurahkan segala kemampuan untuk membina peserta didiknya, menjalankan amanah yang diemban sebagai ibadah dan rasa bersyukur atas apa yang telah diraih. Seperti kalimat yang sering diucapkan oleh “jangan melihat seberapa besar apa yang kamu dapatkan tapi merenunglah, resapilah seberapa besar kesungguhanmu terhadap apa yang telah kamu berikan kepada bangsa ini?”. Sebagai seorang pejabat, harusnya mampu mengedepankan rakayatnya untuk hidup sejahtera sebelum dirinya karena kewajibannya adalah keadilan sosial yang lebih memahai makna dari pada keadilan bukan mengadilkan diri sendii dengan apa yang rakyat tidak mnegtahuinya. Rakyat seakan diselimuti oleh senyuman manis tanpa melihat berapa kerutan yang tertera dalam senyuman manis tersebut (eksploitasi sumber daya alam, trafiking, lemhanya sistem keamanan, kelaparan, dsb).

Menyikapi masalah profesi, sebagai kaum muda khususnya para mahasiswa yang kini sudah kehilangan kewibawaannya karena banyaknya deviasi seperti banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur, kerusakan moral yang dilukiskan “ayam kampus”, pemikiran para kaum intelektual hanya sekedar pada beberapa lembar kertas untuk mendapatkan gelar atau sekedar nilai yang memuaskan orang tua, ajang pamer tanpa adanya aplikasi yang jelas terhadap apa yang mereka tulis bahkan banyaknya plagiator-plagiator kerap meragukan kualitas seorang mahasiswa. Degradasi moral yang dialami para mahasiswa tersebut juga salah satu wujud penjajahan globalisme. Pandangan terhadap mahasiswa harus dirubah dengan membenahi moral para mahasiswa. Menurut Soejatmoko (1991:97) sifat-sifat dan kemampuan yang harus dimiliki manusia Indonesia di masa mendatang sebgai berikut:

a. Orang harus serba tahu (well informed), dan harus selalu menyadari bahwa proses belajar tidak akan pernah selesai di dalam dunia yang terus berubah secara cepat. Dia harus mampu mencerna informasi yang banyak tapi tuntas, itu artinya harus mempunyai kemampuan analisis yang tajam, mampu berpikir integratif serta dapat bereaksi cepat.

b. Orang harus kreatif dalam memberikan jawaban terhadap tantangan baru, serta mempunyai kemampuan mengantisipasi setiap perkembangan.

c. Mempunyai kepekaan terhadap terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial. Peka terhadap batas-batas toleransi masyarakat serta terhadap perubahan sosial dan ketidakadilan.

d. Memiliki harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri berdasarkan iman yang kuat.

e. Sanggup mengidentifikasi dimensi-dimensi moral dan etis dalam perubahan sosial dan pilihan teknologi. Selanjutnya juga sanggup mengiterpretasikan ketentuan-ketentuan agama sehingga terungkaplah relevansinya dalam pemecahan masalah dan perkembangan-perkembangan baru.[10]

Dengan poin-poin tersebut generasi muda diharapkan mampu kritis dan bijaksana mengenai fenomena-fenomena yang terjadi dalam perkembangan berbagai aspek kehidupan yang terus berubah sejalan dengan perkembangan globalisasi yang merupakan sebuah proses bukan hasil. Selain poin-poin diatas hal yang wajid diwujudkan oleh kaum muda untuk bernasionalis, sesuai pandangan sosiologis kaum muda mampu menciptakan masyarakat yang mutikulturalis -hidup bersama dalam kesederajataan dengan kesadaran mengenai perbedaan sebagai anugerah yang harus dijaga dan dilestarikan- khususnya masyarakat Indonesia yang sangat rentan dengan konflik. Dengan demikian, masyarakat Indonesia akan merasakan kemerdekaan yang sebenarnya. Keteraturan dijajah perlahan akan sirna apabila diberengi dengan kesadaran tinggi mengenai kualitas berbagai aspek kehidupan dan moral yang berbudi luhur.

Semoga beberapa bait susunan kalimat ini mampu memberikan inspirasi kepada kaum muda untuk lebihpeduli terhadap bangsa Indonesia, tidak hanya berpangku tangan menikmati penjaajahan yang perlahan menikam kehidupannya. Semua butuh kerja keras, begitupun mempertahankan nasionalisme yang membara di jiwa para kaum muda sekarang ini.



[1] Utomo, Cahyo Budi.1995.Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan.Semarang:IKIP Semarang Press. hal 17

[2] Ibid. hal 19

[3] Tilaar, H.A.R.2004.Multikulturalisme(tantangan-tantangan Globa Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional).Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). hal 107

[4] Ibid. hal 108

[5] Utomo, Cahyo Budi, op cit. hal 23

[6] Ibid. hal 26

[7] Ibid. hal 28-29

[8] Ibid. hal 4

[9] Sunarso, dkk.2006.Pendidikan Kewarganegaraan.Yogyakarta:UNY Press. hal.226